Sejarah Sumatera Barat
Dari perang Padri sampai perang Belasting
Berakhirnya
perang Padri menandai perubahan besar di Minangkabau. Kerajaan
Pagaruyung runtuh dan di tempatnya berdiri pemerintahan Hindia Belanda.
Belanda memerintah diatur oleh perjanjian Plakat Panjang (1833).
Di dalamnya Belanda berjanji untuk tidak mencampuri masalah adat dan
agama nagari-nagari di Minangkabau. Belanda juga menyatakan tidak akan
memungut pajak langsung. Hal ini menyebabkan para pemimpin Minangkabau
membayangkan dirinya sebagai mitra bukannya bawahan Belanda.
Sebagaimana di daerah lain di Hindia Belanda pemerintah kolonial memberlakukan Tanam Paksa (cultuurstelsel) di Sumatera Barat. Sistem ini menjadikan para pemimpin adat sebagai agen kolonial Belanda.
Penjajahan
Belanda berpengaruh besar pada tatanan tradisional masyarakat
Minangkabau. Di Sumatera Barat Belanda membuat jabatan baru, seperti
penghulu rodi. Kerapatan Nagari dijadikan sebagai lembaga pemerintahan
terendah, dan kepemimpinan kolektif para penghulu ditekan dengan
keharusan memilih salah seorang penghulu menjadi Kepala Nagari. Serikat
nagari-nagari (laras, Bahasa Minang: lareh) yang sebenarnya merupakan
persekutuan longgar atas asas saling menguntungkan, dijadikan sebagai
lembaga pemerintahan yang setara dengan kecamatan.
Belanda juga berusaha mematikan jalur perdagangan tradisional Minangkabau ke pantai timur Sumatera yang menyusuri sungai-sungai besar yang bermuara di Selat Malaka, dan mengalihkannya ke pelabuhan di pantai Barat seperti Pariaman dan Padang. Pada tahun 1908 Belanda menghapus sistem Tanam Paksa dan memberlakukan pajak langsung. Perang Belasting pun meletus. (Dari : Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)
Berdirinya kerajaan Pagaruyung
Sejarah daerah Propinsi Sumatera Barat menjadi
lebih terbuka sejak masa pemerintahan Raja Adityawarman. Ra¬ja ini
cukup banyak meninggalkan prasasti mengenai dirinya, walaupun dia tidak
pernah mengatakan dirinya sebagai Raja Minangkabau.
Sejarah daerah Propinsi Sumatera Barat menjadi lebih terbuka sejak masa pemerintahan Raja Adityawarman. Raja ini cukup banyak meninggalkan prasasti
mengenai dirinya, walaupun dia tidak pernah mengatakan dirinya sebagai
Raja Minangkabau. Adityawarman memang pernah memerintah di Pagaruyung, suatu negeri yang dipercayai warga Minangkabau sebagai pusat kerajaannya.
Adityawarman
adalah tokoh penting dalam sejarah Minangkabau. Di samping
memperkenalkan sistem pemerintahan dalam bentuk kerajaan, dia juga
membawa suatu sumbangan yang besar bagi alam Minangkabau. Kontribusinya
yang cukup penting itu adalah penyebaran agama Buddha.
Agama ini pernah punya pengaruh yang cukup kuat di Minangkabau.
Terbukti dari nama beberapa nagari di Sumatera Barat dewasa ini yang
berbau Budaya atau Jawa seperti Saruaso, Pariangan, Padang Barhalo, Candi, Biaro, Sumpur, dan Selo.
Sejarah
Sumatera Barat sepeninggal Adityawarman hingga pertengahan abad ke-17
terlihat semakin kompleks. Pada masa ini hubungan Sumatera Barat
dengan dunia luar, terutama Aceh semakin intensif. Sumatera Barat
waktu itu berada dalam dominasi politik Aceh
yang juga memonopoli kegiatan perekonomian di daerah ini. Seiring
dengan semakin intensifnya hubungan tersebut, suatu nilai baru mulai
dimasukkan ke Sumatera Barat. Nilai baru itu akhimya menjadi suatu
fundamen yang begitu kukuh melandasi kehidupan sosial-budaya masyarakat
Sumatera Barat. Nilai baru tersebut adalah agama Islam.
Syekh Burhanuddin dianggap sebagai penyebar pertama Islam di Sumatera Barat. Sebelum mengembangkan agama Islam di Sumatera Barat, ulama ini pernah menuntut ilmu di Aceh. (Dari : Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)
Sumatera Barat Masa Pra Sejarah
Bukti-bukti arkeologis yang dite¬mukan,
memberi indikasi bahwa daerah-daerah sekitar Kabu¬paten Lima Puluh Kota
yang menempati sebagian besar luhak Lima puluh Koto merupakan daerah
atau kawasan Minangkabau yang pertama dihuni oleh nenek moyang orang
Su¬matera Barat.
Bukti-bukti arkeologis yang ditemukan, memberi indikasi bahwa daerah-daerah sekitar Kabupaten Lima Puluh Kota yang menempati sebagian besar luhak Lima puluh Koto merupakan daerah atau kawasan Minangkabau yang pertama dihuni oleh nenek moyang orang Sumatera Barat. Penafsiran ini rasanya beralasan, karena dari daerah Lima Puluh Koto ini mengalir beberapa sungai besar yang akhirnya bermuara di pantai timur pulau Sumatera. Sungai-sungai ini dapat dilayari dan memang menjadi sarana transportasi yang penting dari zaman dahulu hingga akhir abad yang lalu.
Nenek moyang orang Minangkabau diduga datang melalui rute ini. Mereka berlayar dari daratan Asia (Indochina) mengarungi Laut Tiongkok Selatan, menyeberangi Selat Malaka dan kemudian memudiki sungai Kampar, Siak, dan Inderagiri (atau; Kuantan). Sebagian di antaranya tinggal dan mengembangkan kebudayaan serta peradaban mereka di sekitar Kabupaten 50 Koto sekarang.
Percampuran dengan para pendatang pada masa-masa berikutnya menyebabkan tingkat kebudayaan mereka jadi berubah dan jumlah mereka jadi bertambah. Lokasi pemukiman mereka menjadi semakin sempit dan akhirnya mereka menyebar ke berbagai bagian Sumatera Barat yang lainnya. Sebagian pergi ke daerah kabupaten Agam dan sebagian lagi sampai ke Kabupaten Tanah Datar sekarang. Dari sini penyebaran dilanjutkan lagi, ada yang sampai ke utara daerah Agam, terutama ke daerah Lubuk Sikaping, Rao, dan Ophir. Banyak di antara mereka menyebar ke bagian barat terutama ke daerah pesisir dan tidak sedikit pula yang menyebar ke daerah selatan, ke daerah Solok, Selayo, sekitar Muara, dan sekitar daerah Sijunjung. (Dari : Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)
Peninggalan Kolonial Belanda
Sumatera Barat kaya akan peninggalan sejarah
baik dari bangunan, sistem kepemerintahan dan lain sebagainya. Sumatera
Barat kaya akan peninggalan sejarah baik dari bangunan, sistem
kepemerintahan dan lain sebagainya. Sumatera Barat kaya akan peninggalan
sejarah baik dari bangunan, sistem kepemerintahan dan lain sebagainya.
Sumatera Barat kaya akan peninggalan sejarah baik dari bangunan, sistem
kepemerintahan dan lain sebagainya.
---------------------------
Arti Lambang Tuah Sakato
ARTI BENTUK
Bentuk perisai persegi lima, melambangkan bahwa propinsi Sumatera Barat
adalah merupakan salah satu dari daerah-daerah propinsi dalam lingkungan
wilayah negara kesatuan republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-undang Dasar 1945.
ARTI GAMBAR
Rumah Gadang/Balai Adat adalah tempat bermufakat atau tempat lahirnya filsafat alam pikiran Minangkabau yang mashur, demokrasi menurut alur dan patut sebagai lambang konsekwen melakanakan demokrasi.
Atap Masjid Bertingkat Tiga dan Bergonjong Satu melambangkan salah satu dari bentuk rumah ibadah yang khas menurut arsitektur alam Minangkabau asli, yang melambangkan agama Islam sebagai salah satu agama yang pada umumnya dipeluk masyarakat.
Bintang Segi Lima melukiskan nur cahaya dari pada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
tap Rumah Gadang/Balai Adat Minangkabau Bergaya Tajam dan Runcing ke Atas merupakan gaya pergas yang tangkas dalam seni bangunan khas alam Minangkabau yang melambangkan sifat rakyatnya yang dinamis, bekerja keras dan bercita-cita luhur untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.
Empat Buah Gonjong Rumah Adat/Balai Adat dan Sebuah Gonjong Mesjid yang Menjulang Tinggi Keangkasa melambangkan keluruhan sejarah Minangkabau dari zaman ke zaman dalam semboyan kata 'Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabulah '.
Gelombang Air Laut adalah suatu lambang dinamika dari masyarakt Minangkabau.
ARTI MOTTO
'Tuah Sakato' berarti sepakat untuk melaksanakan hasil mufakat/musyawarah dan sebagai slogan kata (tanda kebesaran) yang terkandung dalam pribahasa Indonesia 'Bersatu Kita Teguh Bercerai Kita Runtuh'
ARTI WARNA
Warna dalam lambang ini berarti/bermakna, Putih berarti suci, Merah Jingga berarti berani, Kuning Emas berarti agung, Hitam Pekat berarti abadi, tabah, ulet/tahan tapo, Hijau Cerah Bersrti harapan masa depan.
----------------------
Narasumber : http://www.sumbarprov.go.id/
No comments:
Post a Comment